Segalanya adalah cermin.
Kemampuan kita untuk mengaca, melihat hal-hal baik dan keunggulan pada siapapun yang ada di sekeliling, baik dia adalah sahabat ataupun musuh, akan memberi nilai kebajikan pada tiap hubungan yang kita jalin dengan mereka. Kita bercermin, melihat bahwa ada selisih nilai antara kita dan sang bayang-bayang. Lalu kita menghargai kelebihannya. Memujinya, sehingga kebaikan itu makin bercahaya.
“Jika Anda membenci seseorang,” kata penyair Herman Hesse, “Anda sebenarnya membenci sesuatu dalam dirinya yang merupakan bagian dari diri Anda. Apa yang bukan merupakan bagian dari diri Anda sendiri sama sekali takkan mengganggu Anda.
Maka saat kita berkaca, menemukan aib pada kawan perjalanan itu sungguh sama artinya dengan menemukan aib kita. Setiap saudara adalah tempat kita bercermin untuk melihat bayang-bayang kita.
Seperti sabda sang Nabi,
“Mukmin yang satu adalah cermin bagi mukmin yang lain”.
Dalam hening kita mematut diri di depannya, lalu kita sempatkan untuk bertanya, “Adakah retak-retak di sana?”
***
Seringkali memang ada retak menghiasi bayangan kita dalam kaca. Kita diajarkan bahwa retak itu bukan terletak pada sang kaca. Retak itu justru mungkin terdapat pada sekujur diri kita yang sedang berdiri di depannya.
Lalu kita pun merapikan diri lagi, menata jiwa, merekatkan retakan-retakan itu hingga sang bayangan turut menjadi utuh.
***
Makna bercermin tidak berhenti sampai disitu. Kita juga tahu, menjadikan sesama peyakin sebagai cermin berarti melihat dengan seksama. Lalu saat kita menemukan hal-hal yang tek berkenan di hati dalam gambaran itu, kita tahu bahwa yang harus kita benahi bukanlah sang bayang-bayang. Kita tahu, yang harus dibenahi adalah diri kita yang sedang mengaca. Yang harus diperbaiki bukan sesama yang kita temukan celanya, melainkan pribadi kita yang sedang bercermin padanya.
Satu lagi. Bahkan jikapun sang cermin buram, barangkali noda itu disebabkan hembusan nafas kita yang terlalu banyak mengandung asam arang dosa.
***
Kita menginsyafi bahwa diri kita adalah orang yang paling memungkinkan untuk diubah agar segala hubungan menjadi indah. Kita sadar bahwa diri kitalah yang ada dalam genggaman untuk diperbaiki dan dibenahi. Kita mafhum, bahwa jiwa kitalah yang harus dijelitakan agar segala bayang-bayang yang menghuni para cermin menjadi memesona. Biarkan sesama peyakin sejati sekedar memantulkan kembali keelokan akhlak yang kita hadirkan.
Dalam dekapan ukhuwah, segalanya adalah cermin.
*Salim A.Fillah
Jika dari musuh kita bisa belajar, apatah lagi dari seorang sahabat. Terkhusus pd seorang sahabat, dari mereka kita bisa bercermin untuk mengejar ketertinggalan dalam kebaikan dan menebus selisih nilai dimana kita masih berada di bawah tingkat keelokan akhlak mereka.
Jangan lelah untuk terus belajar dan bercermin, Semoga bisa kita capai derajat yang tinggi, aamiin..
