Selasa, 04 Oktober 2011

Mata Air Keluhuran


Galau benar hati sang raja. Putera mahkotanya ternyata seorang pemuda pemalas. Apatis.
Talenta raja-raja tidak terlihat dalam pribadinya. Suatu saat sang raja menemukan cara mengubah pribadi puteranya: The Power of Love.

Sang raja mendatangkan gadis-gadis cantik ke istananya.
Istana pun seketika berubah jadi taman: semua bunga mekar di sana. Dan terjadilah itu.
Sesuatu yang memang ia harapkan: puteranya jatuh cinta pada salah seorang di antara mereka. Tapi kepada gadis itu sang raja berpesan, “Kalau puteraku menyatakan cinta padamu, bilang padanya, “Aku tidak cocok untukmu. Aku hanya cocok untuk seorang raja atau seseorang yang berbakat jadi raja.”

Benar saja. Putera mahkota itu seketika tertantang. Maka ia pun belajar. Ia mempelajari segala hal
yang harus diketahui seorang raja. Ia melatih dirinya untuk menjadi raja. Dan seketika talenta raja-raja meledak dalam dirinya. Ia bisa, ternyata! Tapi karena cinta!

Cinta telah bekerja dalam jiwa anak muda itu secara sempurna. Selalu begitu: menggali tanah jiwa
manusia, sampai dalam, dan terus ke dalam, sampai bertemu mata air keluhurannya. Maka
meledaklah potensi kebaikan dan keluhuran dalam dirinya. Dan mengalirlah dari mata air keluhuran
itu sungai-sungai kebaikan kepada semua yang ada di sekelilingnya. Deras. Sederas arus sungai
yang membanjir, desak mendesak menuju muara. Cinta menciptakan perbaikan watak dan penghalusan jiwa. Cinta memanusiakan manusia dan mendorong kita memperlakukan manusia dengan etika kemanusiaan yang tinggi.

Jatuh cinta adalah peristiwa paling penting dalam sejarah kepribadian kita. Cinta, kata Quddamah,
mengubah seorang pengecut menjadi pemberani, yang pelit jadi dermawan, yang malas jadi rajin, yang pesimis jadi optimis, yang kasar jadi lembut.
Kalau cinta kepada Allah membuat kita mampu memenangkan Allah dalam segala hal, maka cinta kepada manusia atau hewan atau tumbuhan atau apa saja, mendorong kita mempersembahkan semua kebaikan yang diperlukan orang atau binatang atau tanaman yang kita cintai. Jatuh cinta membuat kita mau merendah, tapi sekatigus bertekad
penuh untuk menjadi lebih terhormat.

Cobalah simak cerita cinta Letnan Jenderai Purnawirawan Yunus Yosfiah, yang suatu saat ia
tuturkan pada saya dan beberapa kawan lain. Ketika calon istrinya menyatakan bersedia hijrah dari
Katolik menuju Islam, ia tergetar hebat. “Kalau cinta telah mengantar hidayah pada calon istrinya,”
katanya membatin, “seharusnya atas nama cinta ia mempersembahkan sesuatu yang istimewa
padanya.”

Ia sedang bertugas di Timor Timur saat itu. Maka ia berjanji, “Besok aku akan berangkat untuk
sebuah operasi. Aku berharap bisa mempersembahkan kepala dedengkot Fretilin untukmu.” Tiga
hari kemudian, janji itu ia bayar lunas!

Gampang saja memahaminya. Keluhuran selalu lahir dari mata air cinta. Sebab, “cinta adalah gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya,” kata Ibnul Qoyyim.


*Anis Matta